Air mata ibu


Ibu menangis. Air mata mengucur di pipinya yang cekung. Ketika itu aku
baru selesai berdzikir setelah mengimaminya. Tasbih ditangannya terus
berputar, bersama dzikir yang terus terlantun dari bibirnya. Ibu khusyuk
dalam isak dan deraian air mata. "Kenapa Ibu menangis?" pertanyaan itu terpaksa kusimpan. Aku tidak akan mengganggu Ibu yang masih khusyuk dengan dzikir. Aku memikirkan berbagai kemungkinan penyebab menangisnya Ibu. Mungkinkah kematian Bapak? Tapi, bukankah kematian Bapak sudah lama sekali? Sudah lima tahun. Atau karena tanah kuburan Bapak yang tidak mendapat izin untuk dibeton dan hanya boleh didirikan batu nisan. Hal itu tidak akan membuat Ibu menangis. Aku sangat mengenal Ibu. Ibu paling tidak menyukai hal-hal yang berbau kemewahan. Ibu selalu ingin menginginkan kesederhanaan.
Kenapa Ibu menangis? Sayang aku sangat jarang pulang dan tidak bertemu Ibu
setiap hari. Hingga aku kurang mengetahui keadaan Ibu belakangan ini.
Mungkin ada suatu persoalan yang membebaninya....


Bertengkar dengan seseorang? Ah rasanya tidak. Setahuku Ibu tidak punya
musuh. Ia selalu mengalah setiap kali berbenturan dengan orang lain. Ibu
lebih banyak diam daripada mengomel. Tidak mungkin rasanya Ibu bertengkar
dengan orang lain, karena memang itu bukan kebiasaan Ibu. Tapi kenapa Ibu menangis? Ibu belum juga selesai berdzikir. Aku sudah selesai sejak lima menit lalu. Aku sudah berdoa, mohonkan ampun atas dosa Ibu dan Bapak yang telah mengasuhku sejak kecil. Ibu belum juga usai. Aku berdiri dan meninggalkan Ibu sendirian di ruang shalat dengan tetap
menyimpan pertanyaan, kenapa Ibu menangis? Kutunggu Ibu di
ruang makan. Bukankah Ibu selalu khusyuk dalam shalat? Kembali aku dibayang
berbagai kemungkinan. Bukankah Ibu tidak pernah lupa mendirikan shalat,
mengaji dan berdzikir? Bukankah Ibu paling senang mendengarkan ceramah di
masjid? Bukankah Ibu juga tidak melewatkan acara wirid? Bukankah Ibu
sudah cukup punya bekal untuk menghadapi segala cobaan...

Tapi kenapa Ibu sampai menangis? Karena aku mengimami Ibukah? Mustahil! Bukan sekali ini saja aku mengimami Ibu. Sudah berulang kali. Hampir setiap kali pulang ke rumah aku mengimami Ibu, terutama saat shalat maghrib dan isya. Ibu sudah berumur tujuhpuluh tahun lebih. Tujuh orang anak
merupakan berkah yang selalu disyukurinya dan kami semua kini sudah
besar. Aku yang bungsu sudah duduk di perguruan tinggi. Aneh rasanya kalau Ibu masih bersedih hati diusianya yang senja ini. Seharusnya Ibu banyak
tertawa dan bercanda bersama cucu-cucunya. Bukankah cucu-cucunya selalalu
bersamanya setiap hari? "Sudah makan Yung?" tanya Ibu mengagetkanku. Ibu muncul dengan senyum mengembang. Tak kulihat bekas tangisan di wajahnya. Mungkin sudah dihapus.
"Belum Bu, Ayung menunggu Ibu."
"Ibu sudah makan."
"Kapan? Bukankah hidangan ini belum disentuh siapapun? Ayolah
Bu, Ayung sudah rindu ingin makan bersama Ibu."
"Makanlah!" kata Ibu sambil menarik kursi. Aku pun mulai
menyanduk nasi dan mengambil beberapa sendok sambal. Tapi Ibu tetap saja
tidak makan nasi. Ia hanya mengambil panganan dan memakannya."Bagaimana
kuliahmu?"
"Alhamdulillah Bu, berkat doa Ibu."
"Belanja harianmu bagaimana?" pertanyaan yang tidak pernah
kuinginkan ini selalu meluncur dari bibir Ibu. Pertanyaan itu kurasakan bagai keluhan dalam hidup. Kuakui selama kuliah aku harus berusaha dan
bekerja keras untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Uang kost, transport
dan kebutuhan kuliah. Memang, yang namanya usaha kadang-kadang dapat, kadang
tidak. Ketika dapat alhamdulillah. Aku bisa makan dan membeli kebutuhan
lain. Jika tidak, maka mau tidak mau aku aku harus puasa. Hal ini
yang sering aku alami. Tapi persoalan ini tidak pernah kuceritakan kepada
siapapun, termasuk Ibu dan saudara-saudaraku. Aku takut terlalu banyak
mengeluh.

"Alhamdulillah, Tuhan masih memberikan rejeki Bu," selalu
kujawab begitu. Biasanya Ibu tidak akan bertanya lagi setelah itu.
"Bu!" sapaku ketika Ibu terdiam.
"Mmm," jawab Ibu.
"Kenapa seusai shalat tadi Ibu menangis?" Ibu terdiam
mendengar
pertanyaanku.
"Ayung cemas melihat Ibu menangis.
Ibu masih diam. Aku menyelesaikan suapanku, setelah itu
membasuh
tangan
dan melapnya dengan serbet.
Ibu masih diam, tapi di matanya kulihat airmata mulai
berlinang.
Setelah itu berceritalah Ibu.
Seminggu yang lalu di surau Balenggek tempat Ibu selalu
sembahyang

berjama'ah, ada ceramah agama mingguan. Ketika itu
penceramahnya
datang
dari luar daerah. Ibu mengikuti ceramah tentang anak yang
berbakti
kepada
orang tua dan anak yang shalih..

"Anak-anak yang shalihlah yang menyelamatkan orang tuanya dari
api
neraka,
karena doa anak yang shalih sangat didengar oleh Allah swt,"
kata
ustad. "
Tapi sebaliknya orang tua tidak selamat dari api neraka jika
anak
yang
dididiknya tidak mampu menjalankan ibadah dan tidak pandai
membaca

Alquran.
"Walaupun orang tuanya sendiri taat beribadah?" tanya Ibu
waktu
itu.
"Ya, apa artinya kita taat tapi tidak membuat anak taat kepada
Tuhannya.
Apalagi sampai tidak bisa sembahyang dan mengaji, anak yang
jauh
dari
perintah Allah dan mendekati laranganNya. Maka orang tuanya di
akhirat
akan ditanya tentang anak-anaknya. Maka sia-sialah ketaatan
orang
tua jika
di akhirat nanti anak mengakui dirinya tidak dididik oleh
orang
tuanya
untuk taat beribadah. Tidak pernah menegur, memukul bahkan
menamparnya,
jika lalai menjalankan perintah agama."
Ketika itu Ibu menyadari apa yang sudah dilakukannya selama
ini.
Ibu ingat
Jai, Jou, Han dan Fai. Saat itulah Ibu merasa hidup dan
ketaatannya selama
ini tak berarti sama sekali. Sejak itu Ibu banyak diam dan
melamun.
Anak-anaknya sampai sekarang tidak pernah membaca Alquran di
rumah
dan
jarang sembahyang, bahkan tidak pernah sama sekali. Ibu merasa
bersalah
setelah mendengar ceramah itu. Ibu menyadari bahwa ia tidak
mendidik
anak-anaknya sesuai ajaran agama. Ibu selalu tidak tega
memarahi
anaknya,
dan melihat anaknya menangis, apalagi kalau ada yang murung
dan
kesal.

Mungkin itulah sebabnya anak-anak Ibu banyak yang tidak dapat
membaca
Alquran Ibu tidak pernah tega memaksa mereka untuk belajar
Ibupun
tidak
marah. Bukankah ini berarti Ibu tidak sanggup mendidik anak.
Bukankah Ibu
gagal menjadi orang tua?
"Tapi Bu, bukankah Ayung selalu taat sembahyang dan membaca
Alquran? Dan
Ayung selalu berdoa untuk Ibu dan Bapak? Lantas apa artinya
usaha
Ayung
selama ini Bu?" kataku kepada Ibu.
"Terima kasih Yung, Ibu sangat bangga padamu. Ibu senang kamu
mampu
menjadi imam untuk Ibu. Ibu pun selalu berdoa untukmu. Yang
Ibu
pikirkan
adalah kakak-kakakmu yang tidak mampu membaca Alquran dan
tidak
menjalankan shalat."
Kuakui selama ini memang hanya aku dan ibu yang shalat
berjama'ah,

walaupun sebenarnya kakak-kakakmu sedang berada di ruamh.
Mereka
lebih
suka duduk di lapau dan sepertinya tidak menghiraukan
panggilan
azan yang
berkumandang dari masjid. Dan Ibu tidak pernah menegur hal
itu.
Aku pun
tidak pernah mempersoalkan mereka. Sementara aku merasa takut,
selain
karena lebih kecil juga karena aku takut menca
mpuri urusan mereka.

"Itulah Yung. Ibu merasa sedih. Kamulah satu-satunya anak Ibu
yang
taat,
yang mengimami Ibu, walaupun kamu yang terkecil. Entahlah..
Ibu
sudah
semakin tua, ajal sudah di ambang pintu. Ternyata Ibu masih
meninggalkan
banyak pekerjaan yang tidak selesai, ternyata Ibu tidak mampu
mendidik
kalian dan kalian ternyata tidak bisa mendidik diri sendiri,"
kata
Ibu
terisak.
Air mataku mengalir tanpa terasa.
"Ada apa? Kok Ibu menangis? Ini pasti ulah kamu Yung! Kamu
tidak
henti-hentinya membuat Ibu sedih, dan menangis. Tahukah kamu
bahwa
membuat
orang tua bersedih hatinya itu dosa?" Tiba-tiba Han kakakku
yang
nomor
tiga datang dan memarahiku.
"Sebagai anak laki-laki kamu jangan terus-terusan bersama Ibu,
itu
cengeng
namanya. Lihat tuh di lepau orang-orang ramai. Duduklah di
sana
biar orang
tahu bahwa kita bermasyarakat. Bukan dalam rumah,"
katanya lagi sambil menekan kepalaku.
"Jangan kasar begitu pada adikmu Han. Ia kan baru sele...,"
"Kalau tidak seperti itu, ia akan lembek seperti perempuan Bu,
yang
duduknya cuma di dapur."
"Tapi ia kan masih kuliah."
"Aah. Ibu selalu membelanya, mentang-mentang ia kuliah.
Walaupun
Han tidak
pernah kuliah, Han ini anak Ibu. Sekurang ajar apapun aku yang
melahirkan
Han adalah Ibu. Tapi kenapa dia, Ibu perlakukan berbeda dengan
Han?" Han
menunjuk-nunjuk diriku.
Mendapat serangan kata-kata seperti itu, Ibu menangis lagi.
Aku
hanya
terdiam terpana ketika Han kemudian berlalu dan tidak
menghiraukan
tangis
Ibu.
Air mata Ibu mengalir lagi. Ingin aku menghapusnya, tapi
bagamana
dengan
kesedihannya? Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhuma,
kamarabbayana
saghiraa. Amin. Hanya itu yang mampu kulakukan.*


0 Response to "Air mata ibu"

Posting Komentar

photo2